Kamis, 22 Oktober 2009

TUGAS MAKALAH
POLITIK PERTANAHAN NASIONAL









Disusun oleh :
Nama : Eli Puspitasari










BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Sengketa pertanahan antara rakyat dengan Pemodal besar dan institusi negara sudah menjadi sengketa nasional. Hampir diseluruh pelosok negeri muncul perlawanan-perlawanan rakyat terkait dengan permapasan paksa terhadap tanah-tanah mereka yang dilakukan pemerintah dengan alasan “Pembangunanisme”. Perlawananan rakyat petani di Indonesia bukan cerita baru, semenjak kolonialisme menancap di Hindia Belanda, dan setelah Belanda memilki utang yang besar karena meredam perlawanan rakyat Hindia Belanda dan berperang dengan Belgia, maka Sistem “cultuurstel” atau tanam paksa menjadi kebijakan baru pemerintah kolonial. Dengan sistem tanam paksa, terutama yang terjadi di Pulau Jawa, maka sistem kepemilikan tanah rakyat menjadi rusak.

B. Rumusan Masalah.
Dalam makalah ini, penulis akan mempelajari dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
• Bagaimana masalah pokok pertanahan dapat disebut bukan masalah teknis-administratif ?
• Bagaimana reforma agrarian sebagai jalan keadilan ?
• Bagaimana agenda pembaharuan agrarian pasca orde baru ?
Demikian Penulis akan menjelaskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam bab selanjutnya, yaitu bab pembahasan.








BAB II
PEMBAHASAN

A. MASALAH POKOK PERTANAHAN BUKAN MASALAH TEKNIS-ADMINISTRATIF.
Masalah pokok yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana menerjemahkan masalah pertanahan; dan hal-hal apa saja yang harus diperhatikan/dipertimbangkan dalam upaya menangani/memecahan masalah pertanahan diletakkan dalam konteks persoalan pokok pertanahan, pembangunan dan pembaruan agraria. Sebelum tiba ke sana, terlebih dahulu akan dibahas apa sesungguhnya yang menjadi hakikat masalah pertanahan diletakkan dalam konteks pembangunan dan pembaruan agraria. Untuk itu, pertama-tama perkenankanlah saya untuk meluruskan dan mempetajam cara pandang atau perspektif kita dalam melihat hakikat pembangunan dan kaitannya dengan masalah ketimpangan dan sengketa/konflik tanah. Hal ini penting agar pembahasan kita senantiasa selaras dan berada dalam koridor kepentingan pembaruan agraria dan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia.
Berkenaan dengan pembangunan, pelaksanaan pembangunan dalam arti sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran (dalam arti luas) seluruh rakyat secara adil dan merata adalah keniscayaan. Karena itu, jika akhir-akhir ini banyak orang yang menggugat pembangunan, menurut hemat saya, yang menjadi poin pokok kritiknya bukan terletak pada kata dan aktivitas "pembangunan", melainkan pada faham pemikiran atau paradigma - termasuk praktik-praktik yang menyertainya - yang melandasi sebuah konsep pembangunan. Karena itu, pembangunan dikatakan gagal, dalam arti tidak mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran, tetapi justru malah menyengsarakan rakyat banyak, hal itu bukan karena adanya pelaksanaan atau aktivitas pembangunan an sich. Kegagalannya bisa disebabkan oleh tiga kemungkinan. Pertama, karena praktik pembangunannya yang menyimpang dari kerangka dasar yang melandasinya. Itu artinya, ada kekeliruan (dalam arti luas) pada tataran implementasi kebijakan dan program pembangunan. Kedua, karena secara paradigmatis/filosofis, konsep pembangunan yang digunakan memang tidak memiliki kehendak untuk mensejahterakan rakyat secara adil dan merata. Dengan kalimat lain, kesejahteraan yang ditawarkan konsep pembangunan semacam ini adalah pseudo kesejahteraan. Ketiga, karena baik secara paradigmatis/filosofis maupun implementasinya sudah tidak sejalan dengan kehendak untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Jika kita bercermin pada pengalaman buruk pembangunan yang diprakarsai Orde Baru, maka kelemahan utamanya terletak pada paradigma yang mendasarinya, yakni kapitalisme/ developmentalisme, bukan semata-mata kekeliruan pada tataran implementasi kebijakan pembangunan sebagaimana menurut beberapa kalangan. Gagasan tersebut secara empiris telah gagal memenuhi janjinya, karena terbukti telah menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia. Sampai pada titik ini, maka ada dua hal penting yang menyangkut masalah pertanahan yang harus digarisbawahi. Pertama, akar masalah pertanahan yang sudah sedemikian parahnya pada dasarnya bukan terletak pada tataran masalah teknis administrasi pertanahan. Bukan pula karena tidak adanya kepastian hukum atas kepemilikan tanah (sertifikat tanah). Kedua, persoalan pertanahan muncul pertama-tama dan terutama karena tidak adanya kehendak politik dari pemerintah Orde Baru untuk meletakkan agenda pembaruan agraria sebagai basis utama pembangunan. Ketiadaan kehendak itu terutama disebabkan oleh ide dan gagasan pembangunan Orde Baru yang secara hakiki tidak sejalan dengan cita-cita pembaruan agraria yang berorientasi pada kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia.

B. REFORMA AGRARIA SEBAGAI JALAN KEADILAN.
62 tahun Indonesia merdeka dari penjajah, ternyata tidak cukup waktu bagi bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan lain. Kumandang “merdeka” yang selalu dipekikkan itu, hanya mampu memberikan ruang awal bagi terbukanya kesempatan lain agar segala cita-cita kemerdekaan bisa terengkuh utuh dalam pangkuan bangsa. Sehingga setengah abad lebih kita mendayung perjalan kapal bangsa, masalah-masalah kita sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan—selain kolonialisme asing seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan tetap belum terselesaikan.
Seperti kita lihat dan kita rasakan bersama, bahwa muara dari semua persoalan tersebut adalah terusiknya rasa keadilan rakyat. Sehingga untuk memecahkan masalah yang bersifat struktural tersebut diperlukan kebijakan yang menyentuh akar masalahnya. Setelah melakukan kajian yang panjang, ditemukan bahwa inti dari masalah tersebut adalah kecil atau tiadanya aset atau akses masyarakat khususnya masyarakat miskin kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah, dan terbatasnya akses ke sumber sosial serta ke sumber politik. Dari sini bisa dilihat bahwa Reforma Agraria merupakan kebijakan mendasar yang langsung dapat membuka akses terhadap kedua sumber itu.
Sebenarnya, Reforma Agraria di Indonesia bukan kebijakan baru. Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia sama waktunya dengan kebijakan serupa di Taiwan. Namun ketika Taiwan terus melesat dengan industrialisasinya, kita malah mandeg sebab kebijakan Reforma Agraria ini dihentikan di tengah jalan.
Beberapa studi mutakhir juga menjelaskan betapa urgen peran Reforma Agraria ini dalam melesatkan bangsanya kepada kemajuan. Easterly (2001) menyatakan: “ growth benefit for people most where acces to land fair”. Senada dengan kesimpulan di atas, kajian terbaru Worl Bank (2007) juga mencatat bahwa penurunan kemiskinan di China dari 53 persen tahun 1981 menjadi hanya 8 persen tahun 2001 merupakan hasil positif dari Reforma Agraria yang diterapkan pada tahun 1978. Begitu juga dengan Rodrik dalam DFID (2007) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru lebih cepat di negara-negara yang memiliki distribusi tanah yang lebih merata.
Bercermin dari kemajuan bangsa-bangsa di atas, sudah saatnya kita kembali ke sistem, aturan, dan kebijakan politik yang selama ini sudah disadari sebagai mandat dari konstritusi kita, yaitu Reforma Agraria. Selain agar kita tidak semakin terlambat, kebijakan ini juga sebagai bentuk warisan yang harus dinikmati oleh anak cucu kita kelak.

C. AGENDA PEMBAHARUAN AGRARIA PASCA ORDE BARU
Setelah rezim Soeharto terbukti mengesampingkan agenda pembaruan agraria - penataan dan pengaturan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil - sehingga kita harus terus berhadapan dengan masalah ketimpangan dan sengketa tanah yang berkepanjangan, maka pertanyaannya sekarang adalah, apakah setelah secara formal rezim ini jatuh lantas dengan sendirinya pembaruan agraria bisa dilaksanakan? Jawabannya adalah bisa dan harus diperjuangkan untuk bisa! Namun demikian, jika kita kembali pada landasan filosofis yang mendasari ide dan cita-cita pembaruan agraria, sambil melihat kecenderungan dan mempehitungkan peluang serta kemungkinan yang ada, upaya untuk melempangkan jalannya tidaklah semudah seperti kita membalik tangan, sekalipun di tengah iklim kehidupan sosial-politik yang "lebih demokratis" seperti saat ini.
Mengapa demikian, sebab jika jalan bagi pembaruan agraria cukup mulus, mungkin tidak akan muncul pertanyaan seperti yang pernah dilontarkan Gunawan Wiradi dalam bukunya yang berjudul Reforma Agraria: Perjalanan yang belum Berakhir (2000: 15), dan dalam beberapa kesempatan diskusi yang pernah digelar setelah kelahiran TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Agraria: "mengapa isu pembaruan agraria yang kembali bergema posta "lengsernya" Soeharto - setelah kurang lebih 32 tahun dipetieskan - hanya berlangsung sesaat, kemudian lenyap lagi?" Pertanyaan ini muncul, tentu saja bukan karena masalah pertanahan di Indonesia sudah menemukan muara pemecahannya. Justru sebaliknya, pertanyaan itu lahir sebagai respon kritis - paling tidak - terhadap tiga hal.
Pertama, jatuhnya kekuasaan Soeharto yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai pintu masuk bagi terwujudnya tata kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang demokratis, ternyata belum memberi jaminan apa-apa bagi upaya pemecahan masalah pertanahan. Seperti pada era Orde Baru, hingga kini kita masih bisa menyaksikan maraknya sengketa tanah di berbagai daerah, yang beberapa diantaranya bahkan harus merenggut korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Sekadar untuk menunjuk satu contoh, kasus sengketa tanah di Bulukumba yang belum lama ini terjadi, adalah sebagian sisi gelap dari sekian banyak kisah pahit persoalan tanah di Indonesia yang hadir dan ada di hadapan kita saat ini.
Kedua, pembaruan agraria sebagai satu-satunya jalan bagi pemecahan masalah pertanahan juga masih belum menjadi agenda politik utama pemerintah. Sebagai persoalan yang sangat serius, hingga kini masalah pertanahan masih belum memperoleh perhatian yang semestinya. Itulah sebabnya masalah krisis keadilan yang kita hadapi sejak jaman penjajahan - yang di era kekuasaan Soeharto menemukan muara kesuburannya - juga tidak kunjung reda. Di satu pihak kita masih menyaksikan semakin banyaknya rakyat yang menjadi "pengungsi-pengungsi" pembangunan (development refugees) akibat hilangnya penguasaan mereka atas tanah; sementara di lain pihak tanah mereka (rakyat) diusahakan secara eksklusif dan eksploitatif oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang berlindung di balik kata pembangunan. Muara dari semua itu adalah krisis keadilan. Dalam soal tanah, krisis itu mewujud dalam bentuk: (1) ketidakadilan dalam akses dan kontrol berbagai kelompok sosial terhadap tanah; (2) ketidakadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan tanah, terutama berbagai usaha dan organisasi, serta kehidupan yang ada di atas tanah; dan (3) pemusatan pengambilan keputusan berkenaan dengan akses dan kontrol, serta pemanfaatan tanah.
Ketiga, meskipun saat ini sudah lahir TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, kebijakan produk kompromi politik - yang oleh beberapa kalangan dinilai sebagai kemunduran dalam perjuangan pembaruan agraria - tersebut juga tampak belum mampu memberi jaminan apa-apa bagi upaya pemecahan masalah pertanahan. Selain kandungan isinya yang masih memiliki banyak kelemahan, pemerintah pun belum menunjukkan komitmen politiknya yang tegas dan bersungguh-sungguh untuk mengimplementasikannya. Oleh sebab itu, lahirnya Keppres Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Agraria - yang menurut pemerintah merupakan tindak lanjut dari amanat yang tertuang dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 - kebijakan itu pun tampaknya masih belum dapat dijadikan sebagai indikator adanya kehendak politik dari pemerintah untuk sesegera mungkin melaksanakan pembaruan agraria yang sejati.
Dengan melihat kondisi dan kecenderungan yang ada, sulitnya pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia paling tidak disebabkan oleh lima hal. Pertama, pembaruan agraria pada dasarnya adalah perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Itu artinya, pembaruan agraria akan membawa konsekuensi terjadinya perubahan struktur kekuasaan di masyarakat di satu sisi; dan akan selalu berhadapan dengan kekuatan pro dan kontra di sisi lain. Tidak terkecuali pembaruan agraria, upaya apa pun yang secara hakiki hendak melakukan perubahan fundamental dan radikal - transformasi sosial - pada dasarnya hanya bisa diwujudkan bila seluruh kekuatan pendukungnya masuk ke dalam arena pertarungan politik dan kepentingan yang berbeda-beda, bahkan bertolak belakang. Diletakkan dalam konteks inilah, maka perjuangan mewujudkan pembaruan agraria akan senantiasa berhadapan dengan kekuatan pro status quo yang tidak menghendaki perubahan.
Berkaca pada kecenderungan seperti itu, ada dua hal yang harus senantiasa dicermati dan terus dikritisi. Pertama, kekuatan neoliberal yang bercita-cita mewujudkan globalisasi dan pasar bebas tidak hanya menyusupi wilayah kekuasaan negara dengan cara mendikte dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah agar selaras dengan kepentingannya, melainkan juga menyusupi wilayah perjuangan ornop - yang selama ini diharapkan menjadi salah satu kekuatan transformasi sosial - dengan cara mengarahkan agenda perjuangannya sesuai dengan tuntutan globalisasi dan pasar bebas. Paralel dengan itu, kedua, didukung oleh pakar teori perubahan sosial dan sokongan dana yang sangat besar, para pengusung neoliberalisme pun terus aktif mewacanakan konsep dan teori perubahan yang tanpa disadari oleh penerimanya - baik pemerintah, kalangan akademisi, intelektual maupun ornop - sebagai upaya pembelokan arah perubahan sosial sejati yang berpijak pada ide-ide kerakyatan dan keadilan.
Jika kita bercermin pada pengalaman buruk pembangunan yang diprakarsai Orde Baru, maka kelemahan utamanya terletak pada paradigma yang mendasarinya, yakni kapitalisme/ developmentalisme, bukan semata-mata kekeliruan pada tataran implementasi kebijakan pembangunan sebagaimana menurut beberapa kalangan. Gagasan tersebut secara empiris telah gagal memenuhi janjinya, karena terbukti telah menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia. Sampai pada titik ini, maka ada dua hal penting yang menyangkut masalah pertanahan yang harus digarisbawahi. Pertama, akar masalah pertanahan yang sudah sedemikian parahnya pada dasarnya bukan terletak pada tataran masalah teknis administrasi pertanahan. Bukan pula karena tidak adanya kepastian hukum atas kepemilikan tanah (sertifikat tanah). Kedua, persoalan pertanahan muncul pertama-tama dan terutama karena tidak adanya kehendak politik dari pemerintah Orde Baru untuk meletakkan agenda pembaruan agraria sebagai basis utama pembangunan. Ketiadaan kehendak itu terutama disebabkan oleh ide dan gagasan pembangunan Orde Baru yang secara hakiki tidak sejalan dengan cita-cita pembaruan agraria yang berorientasi pada kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia.








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Membahas masalah pengambilalihan tanah untuk "kepentingan" pembangunan di saat kita tengah dihadapkan pada masalah pertanahan yang sangat berat dan belum menemukan akhir penyelesaiannya, jelas bukan perkara mudah. Jika tidak jernih dalam melihat pokok persoalannya, besar kemungkinan akan terjebak pada upaya-upaya dan tawaran solusi yang seolah-olah hendak memecahkan masalah, padahal - tanpa disadari - justru menambah, bahkan memperparah beban permasalahan yang sudah ada. Karena itu, agar terhindari dari jebakan kerancuan teoretis semacam itu, di akhir tulisan ini saya hendak menggarisbawahi dua hal yang mungkin berguna sebagai catatan dalam menangani masalah pertanahan yang ada saat ini.
Berkenaan dengan faktor penyebab terjadinya sengketa tanah sebagai "dampak buruk" pelaksanaan pembangunan. Sebagai bagian penting dari sumber agraria, tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat strategis, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Karena nilai strategisnya itu pulalah tanah menjadi contested resources yang potensial melahirkan konflik/sengketa, baik antara rakyat dengan rakyat; rakyat dengan perusahaan; rakyat dengan pemerintah; maupun antarketiganya, atau antarsiapa pun yang berkepentingan terhadap sumber agraria tanah. Oleh sebab itu, faktor penyebab utama timbulnya konflik/sengketa tanah dalam konteks pembangunan sesungguhnya bukan semata-mata terletak pada persoalan teknis-administratif pertanahan, seperti adanya kekacauan dalam pengelolaan dan mekanisme pengaturan administrasi pertanahan, ketidaklayakan dalam soal ganti rugi dalam pengambilalihan tanah dan sebagainya. Meskipun dalam beberapa kasus masalah seperti itu memang terjadi, tetapi bukanlah sumber utama penyebab timbulnya konflik/sengketa tanah yang sifatnya mendasar dan signifikan mempengaruhi baik buruknya kondisi kehidupan rakyat. Masalah tersebut hanyalah satu dari sekian banyak turunan masalah pertanahan yang berakar dari: (1) pilihan paradigma pembangunan yang tidak selaras dengan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia. (2) Adanya perbedaan pemaknaan/perlakuan dan kepentingan atas tanah yang secara diametral bertolak belakang. Di satu pihak tanah dimaknai sebagai aset ekonomi yang memiliki fungsi sosial; sementara di pihak lain dimaknai semata-mata sebagai barang komoditi dan modal untuk mencetak nilai lebih. (3) Adanya benturan kepentingan semacam itu semakin diperparah oleh absennya tata aturan - yang jelas, tegas, tidak kontradiktif, komprehensif, dan sesuai dengan kepentingan sebagian besar rakyat - tentang bagaimana benda yang disebut tanah itu dikuasai, dimiliki, digunakan, dikelola dan dimanfaatkan. Ketiadaan tata aturan itu pulalah yang telah memberi ruang kebebasan bagi setiap prinsip "siapa kuat dia dapat" untuk menguasai dan memperlakukan tanah tanpa memperhatikan hajat hidup orang banyak.

B. Saran.
Dengan penjelasan di atas, menjadi semakin jelas, bahwa Reforma Agraria merupakan agenda yang harus menjadi mainstreaming bangsa ini kini dan esok. Ia akan menyelesaikan berbagai masalah struktural bangsa yang selama ini tidak kunjung selesai. Ia juga akan mengembalikan identitas kewargaan yang selama ini kadang tidak terdengar karena alienasi pembangunan.

Senin, 19 Oktober 2009

KONFLIK TANAH YANG TERJADI DI INDONESIA

OLEH: NICO PRATAMA


BAB I
PENDAHULUAN

Tanah adalah kebutuhan manusia yang sangat mendasar,karena tanpa adanya tanah manusia tidak dapat hidup. Bahkan manusia diciptakan dari tanah dan sudah jadi takdirnya apabila manusia sangat memutuhkan tanah. Semua kehidupan manusia bersumber dari tanah. Karena baik itu air, minyak, gas, logam, dll semuanya berasal dari tanah. Tidak hanya manusia saja yang membutuhkan tanah,hewan dan tumbuhan juga sangat membutuhkannya. Mereka juga tidak dapat hidup tanpa adanya tanah tempat mereka berpijak. Karena mereka juga membutuhkan air yang berasal dari tanah, dan mereka juga membutuhkan makanan yang mereka burtuhkan yang berasal dari tanah.

Di Indonesia tanah merupakan hal utama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Karena kultur budaya masyarakat Indonesia adalah bertani, selain itu Indonesia adalah negara agraris. Jadi, tidaklah heran apabila masyarakat Indonesia sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan sangat bergantung kepada tanah. Dan tidak heran pula jika di Indonesia sering terjadi perselisihan dan sengketa tanah. Karena terdapat pihak-pihak yang merasa memiliki hak atas sebidang tanah, sedangkan di lain pihak terdapat juga yang merasa tidak puas dengan salah satu pihak tersebut.

Menurut kepala BPN Pusat terdapat tiga hal utama yang dapat menyebabkan terjadinya sengketa tanah antara lain:
 Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang mengakibatkan kepemilikan tanah dipegang oleh dua pihak dimana masing-masing memiliki sertifikat.
 Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidak seimbangan pendistribusian tanah baik tanah pertanian maupun bukan pertanian dapat menimbulkan ketimpangan, baik itu secara ekonomis, poltis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat kalangan bawah, khususnya para petani dan para buruh tani yang memikul beban paling berat. Ketimpangan ini dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah milik petani dapat dibeli dengan harga murah sewaktu-waktu oleh para pemodal dan bersifat memaksa.
 Legalitas tanah yang hanya berdasarkan bukti formal(sertifikat tanah) tanpa memperhatikan produktifitas tanah tersebut. Akibatnya secara legal, banyak tanah yang dimiliki oleh perusahaan, karena dibeli dari para petani dan tanah tersebut ditelantarkan begitu saja tanpa hasil. Mungkin sebagian besar orang memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah, padahal hal ini tidak dapat dianggap remeh dan harus ditemukan solusinya. Karena sengketa tanah dapat menimbulkan perselisihan antar ras, suku, dan agama sehingga dapat menimbulkan dampak yang lebih besar lagi.

Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya.









BAB II
INTI

SENGKETA TANAH

PENGERTIAN SENGKETA TANAH
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
 Harga tanah yang meningkat dengan cepat dan signifikan.
 Kondisi masyarakat yang semakin mengerti dan peduli akan hak-haknya.
 Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah. Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).

Menurut Rusmadi Murad pengertian sengketa tanah yaitu. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain:
 Mengenai masalah status tanah
 Masalah kepemilikan
 Masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
 Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
 Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
SIFAT PERMASALAHAN TANAH DI INDONESIA
Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya. Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial. Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional.Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum.1 Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-carapenindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya. Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan. Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan.
KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Pembuktian menurut Prof. R. subekti adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
 Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
 Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antar pihak bahwa peristiwa tersebut dalam akta tersebut benar-benar telah terjadi.
 Kekuatan mengikat. Membuktikan antar pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang tertulis di dalam akta tersebut tadi.











BAB
III
PENUTUP

Mengingat betapa pentingnya tanah bagi kita semua maka sewajibnyalah kita menjaga tanah yang kita miliki dengan kekuatan hukum yang ada, sehingga tanah yang kita miliki tidak mudah terlepas dari tangan kita. Pemerintah telah berupaya agar standar pelayanan pertanahan lebih ditingkatkan lagi agar persengketaan tanah dapat lebih diminimalkan lagi. Hal ini dikuatkan dengan diputuskannya peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang penyederhanaan dan percepatan standar prosedur operasi pengaturan dan pelayanan pertanahan untuk jenis pertanahan tertentu di dalam No.6 pasal 1,yaitu:
(1) Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) pelayanan pertanahan sebagaimana tercantum dalam lampiran I sampai dengan XIV yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan peraturan ini.
(2) Pelayanan pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pemeriksaan (pengecekan) sertipikat;
b. Peralihan hak – Jual beli;
c. Peralihan hak – Pewarisan;
d. Peralihan hak – Hibah;
e. Peralihan hak – Tukar Menukar;
f. Peralihan hak – Pembagian hak bersama;
g. Hak tanggungan;
h. Hapusnya hak tanggungan - roya;
i. Pemecahan sertipikat – Perorangan;
j. Pemisahan sertipikat – Perorangan;
k. Penggabungan sertipikat – Perorangan;
l. Perubahan hak milik untuk rumah tinggal dengan ganti blanko;
m. Perubahan hak milik untuk rumah tinggal tanpa ganti blanko; dan
n. Ganti nama.
Karena itu kesadaran masyarakat agar mendaftarkan tanahnya sangatlah diperlukan, sehingga permasalahan sengketa tanah tidak lagi menjadi momok bagi kita semua khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.