Senin, 19 Oktober 2009

KONFLIK TANAH YANG TERJADI DI INDONESIA

OLEH: NICO PRATAMA


BAB I
PENDAHULUAN

Tanah adalah kebutuhan manusia yang sangat mendasar,karena tanpa adanya tanah manusia tidak dapat hidup. Bahkan manusia diciptakan dari tanah dan sudah jadi takdirnya apabila manusia sangat memutuhkan tanah. Semua kehidupan manusia bersumber dari tanah. Karena baik itu air, minyak, gas, logam, dll semuanya berasal dari tanah. Tidak hanya manusia saja yang membutuhkan tanah,hewan dan tumbuhan juga sangat membutuhkannya. Mereka juga tidak dapat hidup tanpa adanya tanah tempat mereka berpijak. Karena mereka juga membutuhkan air yang berasal dari tanah, dan mereka juga membutuhkan makanan yang mereka burtuhkan yang berasal dari tanah.

Di Indonesia tanah merupakan hal utama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Karena kultur budaya masyarakat Indonesia adalah bertani, selain itu Indonesia adalah negara agraris. Jadi, tidaklah heran apabila masyarakat Indonesia sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan sangat bergantung kepada tanah. Dan tidak heran pula jika di Indonesia sering terjadi perselisihan dan sengketa tanah. Karena terdapat pihak-pihak yang merasa memiliki hak atas sebidang tanah, sedangkan di lain pihak terdapat juga yang merasa tidak puas dengan salah satu pihak tersebut.

Menurut kepala BPN Pusat terdapat tiga hal utama yang dapat menyebabkan terjadinya sengketa tanah antara lain:
 Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang mengakibatkan kepemilikan tanah dipegang oleh dua pihak dimana masing-masing memiliki sertifikat.
 Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidak seimbangan pendistribusian tanah baik tanah pertanian maupun bukan pertanian dapat menimbulkan ketimpangan, baik itu secara ekonomis, poltis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat kalangan bawah, khususnya para petani dan para buruh tani yang memikul beban paling berat. Ketimpangan ini dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah milik petani dapat dibeli dengan harga murah sewaktu-waktu oleh para pemodal dan bersifat memaksa.
 Legalitas tanah yang hanya berdasarkan bukti formal(sertifikat tanah) tanpa memperhatikan produktifitas tanah tersebut. Akibatnya secara legal, banyak tanah yang dimiliki oleh perusahaan, karena dibeli dari para petani dan tanah tersebut ditelantarkan begitu saja tanpa hasil. Mungkin sebagian besar orang memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah, padahal hal ini tidak dapat dianggap remeh dan harus ditemukan solusinya. Karena sengketa tanah dapat menimbulkan perselisihan antar ras, suku, dan agama sehingga dapat menimbulkan dampak yang lebih besar lagi.

Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya.









BAB II
INTI

SENGKETA TANAH

PENGERTIAN SENGKETA TANAH
Akhir-akhir ini kasus pertanahan muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain :
 Harga tanah yang meningkat dengan cepat dan signifikan.
 Kondisi masyarakat yang semakin mengerti dan peduli akan hak-haknya.
 Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah. Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi / penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).

Menurut Rusmadi Murad pengertian sengketa tanah yaitu. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Penyelesaian Sengketa Tanah
Cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) yaitu :
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain:
 Mengenai masalah status tanah
 Masalah kepemilikan
 Masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat letak tanah yang disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.

Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
 Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
 Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.
 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
SIFAT PERMASALAHAN TANAH DI INDONESIA
Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya. Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial. Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional.Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan umum.1 Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-carapenindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960 membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya. Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan. Sementara itu, pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus PLTA Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto. Peristiwa-peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan.
KEKUATAN PEMBUKTIAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Pembuktian menurut Prof. R. subekti adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis, terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu:
 Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
 Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antar pihak bahwa peristiwa tersebut dalam akta tersebut benar-benar telah terjadi.
 Kekuatan mengikat. Membuktikan antar pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang tertulis di dalam akta tersebut tadi.











BAB
III
PENUTUP

Mengingat betapa pentingnya tanah bagi kita semua maka sewajibnyalah kita menjaga tanah yang kita miliki dengan kekuatan hukum yang ada, sehingga tanah yang kita miliki tidak mudah terlepas dari tangan kita. Pemerintah telah berupaya agar standar pelayanan pertanahan lebih ditingkatkan lagi agar persengketaan tanah dapat lebih diminimalkan lagi. Hal ini dikuatkan dengan diputuskannya peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang penyederhanaan dan percepatan standar prosedur operasi pengaturan dan pelayanan pertanahan untuk jenis pertanahan tertentu di dalam No.6 pasal 1,yaitu:
(1) Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan (SPOPP) pelayanan pertanahan sebagaimana tercantum dalam lampiran I sampai dengan XIV yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan peraturan ini.
(2) Pelayanan pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pemeriksaan (pengecekan) sertipikat;
b. Peralihan hak – Jual beli;
c. Peralihan hak – Pewarisan;
d. Peralihan hak – Hibah;
e. Peralihan hak – Tukar Menukar;
f. Peralihan hak – Pembagian hak bersama;
g. Hak tanggungan;
h. Hapusnya hak tanggungan - roya;
i. Pemecahan sertipikat – Perorangan;
j. Pemisahan sertipikat – Perorangan;
k. Penggabungan sertipikat – Perorangan;
l. Perubahan hak milik untuk rumah tinggal dengan ganti blanko;
m. Perubahan hak milik untuk rumah tinggal tanpa ganti blanko; dan
n. Ganti nama.
Karena itu kesadaran masyarakat agar mendaftarkan tanahnya sangatlah diperlukan, sehingga permasalahan sengketa tanah tidak lagi menjadi momok bagi kita semua khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar